Ja’far
bin Abi Thalib
“Aku Melihat Ja’far di Surga. Ia memiliki 2 Sayap yang Berlumuran
Darah dan Bulu yang Diberi Warna.” (Hadits Al Syarif)
Di Bani Manaf86 ada 5 orang yang amat mirip dengan Rasulullah Saw
sehingga orang yang lemah pandangannya sering keliru membedakan
Rasul Saw dengan mereka.
Tidak dipungkiri bahwa Anda ingin mengetahui siapa saja kelima orang
tersebut yang begitu mirip dengan Nabi Saw.
Maka marilah kita berkenalan dengan mereka semua.
Mereka adalah: Abu Sufyan bin Al Harits bin Abdul Muthalib, Beliau ini
adalah sepupu Rasulullah Saw dan saudara sesusuan dengan Nabi Saw.
Kemudian Futsam bin Al Abbas bin Abdul Muthalib, dan dia juga
merupakan sepupu Nabi Saw. Al Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim
kakeknya Imam Syafi’I ra. Al Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw dan ia
merupakan orang yang paling mirip dengan Nabi Saw dibandingkan
dengan yang lain. Dan Ja’far bin Abu Thalib, dia adalah saudara Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Kami akan memaparkan sebuah episode dari kisah hidup Ja’far bin Abi
Thalib ra…
%%%
Abu Thalib -meski dia adalah orang yang terpandang di kalangan
bangsa Quraisy, dan memiliki posisi penting di kaumnya- namun ia adalah
orang yang amat sulit hidupnya dan banyak anggota keluarganya.
Kondisi tersebut semakin bertambah sulit dengan datangnya tahun
paceklik yang terjadi pada bangsa Quraisy sehingga membuat semua
panenan menjadi gagal dan hewan-hewan ternakpun tidak dapat
mengeluarkan susu. Ini semua membuat manusia hanya mampu
mengkonsumsi tulang-tulang basah saja.
Di kalangan Bani Hasyim –saat itu- tidak ada orang yang berkeluasan
kecuali Muhammad bin Abdullah dan pamannya Al Abbas.
Muhammad lalu berkata kepada Abbas: “Wahai paman, saudaramu
Abu Thalib banyak sekali keluarganya. Engkau tahu sendiri bahwa banyak
manusia yang berkesusahan karena kemarau yang panjang serta wabah
kelaparan. Marilah kita ke rumahnya untuk menanggung sebagian
keluarganya. Aku akan menanggung seorang anaknya dan engkaupun
menanggung seorang lagi dari anaknya, sehingga keduanya kita cukupi
kebutuhannya.”
Abbas berkata: “Engkau telah mengajak kepada hal kebaikan dan
engkau menyeru kepada kebajikan.”
Kemudian keduanya berangkat dan bertemu dengan Abu Thalib.
Keduanya berkata: “Kami datang berniat untuk meringankan beban
keluargamu sehingga kesulitan dan penderitaan ini sirna dari diri
manusia.” Abu Thalib berkata: “Kalian boleh untuk mengambil siapa saja,
selain Aqil.”
Maka Muhammad mengajak Ali dan menjadikan keluarganya.
Sedangkan Abbas mengajak Ja’far dan menjadikannya sebagai keluarga.
Ali terus tinggal bersama Muhammad hingga saat Allah Swt
mengutusnya sebagai seorang Nabi yang membawa agama petunjuk dan
kebenaran. Dialah yang menjadi orang pertama yang memeluk Islam dari
kalangan pemuda.
Ja’far pun terus tinggal dengan pamannya sehingga ia tumbuh dewasa,
masuk Islam dan berkecukupan bersamanya.
%%%
Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya Asma binti Umais bergabung
dengan rombongan ‘cahaya’ sejak perjalanan pertama.
Keduanya masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar As Shiddiq ra sebelum
Rasulullah Saw masuk ke Darul Al Arqam.87
Pemuda AlHasyimi ini bersama istrinya merasakan siksaan bangsa
Quraisy sebagaimana yang dirasakan oleh muslimin yang lain. Keduanya
mampu bersabar atas siksaan ini karena keduanya menyadari bahwa jalan
menuju surga dipenuhi dengan duri dan sarat dengan hal yang
menyakitkan. Akan tetapi yang membuat mereka jengkel sebagaimana yang
dirasakan oleh sahabat mereka dari kaum muslimin adalah bahwa bangsa
Quraisy menghalangi mereka untuk melakukan ibadah dan menghalangi
mereka untuk merasakan lezatnya ibadah. Bangsa Quraisy bahkan
senantiasa mengawasi setiap hembusan nafas mereka.
Pada saat itulah Ja’far bin Abi Thalib meminta izin kepada Rasulullah
saw untuk berhijrah bersama istri dan beberapa orang sahabat lainnya ke
negeri Habasyah. Rasul pun mengizinkan dengan hati yang sedih
“Aku Melihat Ja’far di Surga. Ia memiliki 2 Sayap yang Berlumuran
Darah dan Bulu yang Diberi Warna.” (Hadits Al Syarif)
Di Bani Manaf86 ada 5 orang yang amat mirip dengan Rasulullah Saw
sehingga orang yang lemah pandangannya sering keliru membedakan
Rasul Saw dengan mereka.
Tidak dipungkiri bahwa Anda ingin mengetahui siapa saja kelima orang
tersebut yang begitu mirip dengan Nabi Saw.
Maka marilah kita berkenalan dengan mereka semua.
Mereka adalah: Abu Sufyan bin Al Harits bin Abdul Muthalib, Beliau ini
adalah sepupu Rasulullah Saw dan saudara sesusuan dengan Nabi Saw.
Kemudian Futsam bin Al Abbas bin Abdul Muthalib, dan dia juga
merupakan sepupu Nabi Saw. Al Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim
kakeknya Imam Syafi’I ra. Al Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw dan ia
merupakan orang yang paling mirip dengan Nabi Saw dibandingkan
dengan yang lain. Dan Ja’far bin Abu Thalib, dia adalah saudara Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Kami akan memaparkan sebuah episode dari kisah hidup Ja’far bin Abi
Thalib ra…
%%%
Abu Thalib -meski dia adalah orang yang terpandang di kalangan
bangsa Quraisy, dan memiliki posisi penting di kaumnya- namun ia adalah
orang yang amat sulit hidupnya dan banyak anggota keluarganya.
Kondisi tersebut semakin bertambah sulit dengan datangnya tahun
paceklik yang terjadi pada bangsa Quraisy sehingga membuat semua
panenan menjadi gagal dan hewan-hewan ternakpun tidak dapat
mengeluarkan susu. Ini semua membuat manusia hanya mampu
mengkonsumsi tulang-tulang basah saja.
Di kalangan Bani Hasyim –saat itu- tidak ada orang yang berkeluasan
kecuali Muhammad bin Abdullah dan pamannya Al Abbas.
Muhammad lalu berkata kepada Abbas: “Wahai paman, saudaramu
Abu Thalib banyak sekali keluarganya. Engkau tahu sendiri bahwa banyak
manusia yang berkesusahan karena kemarau yang panjang serta wabah
kelaparan. Marilah kita ke rumahnya untuk menanggung sebagian
keluarganya. Aku akan menanggung seorang anaknya dan engkaupun
menanggung seorang lagi dari anaknya, sehingga keduanya kita cukupi
kebutuhannya.”
Abbas berkata: “Engkau telah mengajak kepada hal kebaikan dan
engkau menyeru kepada kebajikan.”
Kemudian keduanya berangkat dan bertemu dengan Abu Thalib.
Keduanya berkata: “Kami datang berniat untuk meringankan beban
keluargamu sehingga kesulitan dan penderitaan ini sirna dari diri
manusia.” Abu Thalib berkata: “Kalian boleh untuk mengambil siapa saja,
selain Aqil.”
Maka Muhammad mengajak Ali dan menjadikan keluarganya.
Sedangkan Abbas mengajak Ja’far dan menjadikannya sebagai keluarga.
Ali terus tinggal bersama Muhammad hingga saat Allah Swt
mengutusnya sebagai seorang Nabi yang membawa agama petunjuk dan
kebenaran. Dialah yang menjadi orang pertama yang memeluk Islam dari
kalangan pemuda.
Ja’far pun terus tinggal dengan pamannya sehingga ia tumbuh dewasa,
masuk Islam dan berkecukupan bersamanya.
%%%
Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya Asma binti Umais bergabung
dengan rombongan ‘cahaya’ sejak perjalanan pertama.
Keduanya masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar As Shiddiq ra sebelum
Rasulullah Saw masuk ke Darul Al Arqam.87
Pemuda AlHasyimi ini bersama istrinya merasakan siksaan bangsa
Quraisy sebagaimana yang dirasakan oleh muslimin yang lain. Keduanya
mampu bersabar atas siksaan ini karena keduanya menyadari bahwa jalan
menuju surga dipenuhi dengan duri dan sarat dengan hal yang
menyakitkan. Akan tetapi yang membuat mereka jengkel sebagaimana yang
dirasakan oleh sahabat mereka dari kaum muslimin adalah bahwa bangsa
Quraisy menghalangi mereka untuk melakukan ibadah dan menghalangi
mereka untuk merasakan lezatnya ibadah. Bangsa Quraisy bahkan
senantiasa mengawasi setiap hembusan nafas mereka.
Pada saat itulah Ja’far bin Abi Thalib meminta izin kepada Rasulullah
saw untuk berhijrah bersama istri dan beberapa orang sahabat lainnya ke
negeri Habasyah. Rasul pun mengizinkan dengan hati yang sedih
Yang
membuat Rasul bersedih atas para sahabatnya yang suci dan baik
itu adalah karena mereka akan meninggalkan kampung mereka. Mereka
bersedia meninggalkan tempat di mana mereka bermain di waktu kecil,
tanah air dimana mereka tumbuh menjadi remaja. Mereka tinggalkan
kampungnya tanpa kesalahan yang mereka perbuat kecuali bahwa mereka
mengatakan bahwa: “Tuhan kami adalah Allah!”
Akan tetapi Beliau tidak memiliki daya dan kekuatan untuk menolak
siksaan bangsa Quraisy.
%%%
Berangkatlah rombongan kaum muhajirin pertama ke Habasyah dan
salah satu dari mereka adalah Ja’far bin Abi Thalib. Mereka tinggal di sana
dengan jaminan keamanan An Najasy yang merupakan pemimpin
Habasyah yang dikenal adil dan shaleh.
Akhirnya, pertama kali mereka mendapatkan rasa aman –sejak mereka
masuk Islam- dan mereka merasakan nikmatnya ibadah tanpa ada yang
mengganggu kenikmatan ibadah mereka, ataupun yang mengacaukannya.
Akan tetapi begitu suku Quraisy mengetahui keberangkatan
rombongan muslimin ini menuju Habasyah untuk mendapatkan
perlindungan raja Habasyah demi ketenangan beribadah mereka dan
keamanan akidah, mereka pun berencana untuk membunuh rombongan
muslimin ini atau menggiring mereka masuk ke dalam sebuah penjara
besar.
Sekarang, kita akan mempersilahkan Ummu Salamah88 ra untuk
menceritakan kisah yang ia dengar dan saksikan.
%%%
Ummu Salamah berkata: “Begitu kami tiba di negeri Habasyah, kami
menemukan perlindungan yang amat baik bagi diri kami sehingga kami
merasa aman dalam menjalankan agama. Kami dapat beribadah kepada
Allah tanpa ada siksaan atau ucapan yang menyakitkan kami. Begitu
Quraisy mendengar kabar ini, mereka segera mengirimkan dua orang yang
paling gagah diantara mereka kepada An Najasy. Keduanya adalah: Amr
bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berdua dibekali hadiah yang
akan diberikan kepada An Najasy dan para pemuka agama di sana. Hadiah
tersebut adalah barang-barang yang disukai oleh penduduk Habasyah dari
negeri Hijaz. Suku Quraisy juga berpesan kepada kedua utusan ini agar
memberikan hadiah kepada para pemuka agama terlebih dahulu sebelum
mereka menghadap An Najasy untuk membicarakan urusan kami.
itu adalah karena mereka akan meninggalkan kampung mereka. Mereka
bersedia meninggalkan tempat di mana mereka bermain di waktu kecil,
tanah air dimana mereka tumbuh menjadi remaja. Mereka tinggalkan
kampungnya tanpa kesalahan yang mereka perbuat kecuali bahwa mereka
mengatakan bahwa: “Tuhan kami adalah Allah!”
Akan tetapi Beliau tidak memiliki daya dan kekuatan untuk menolak
siksaan bangsa Quraisy.
%%%
Berangkatlah rombongan kaum muhajirin pertama ke Habasyah dan
salah satu dari mereka adalah Ja’far bin Abi Thalib. Mereka tinggal di sana
dengan jaminan keamanan An Najasy yang merupakan pemimpin
Habasyah yang dikenal adil dan shaleh.
Akhirnya, pertama kali mereka mendapatkan rasa aman –sejak mereka
masuk Islam- dan mereka merasakan nikmatnya ibadah tanpa ada yang
mengganggu kenikmatan ibadah mereka, ataupun yang mengacaukannya.
Akan tetapi begitu suku Quraisy mengetahui keberangkatan
rombongan muslimin ini menuju Habasyah untuk mendapatkan
perlindungan raja Habasyah demi ketenangan beribadah mereka dan
keamanan akidah, mereka pun berencana untuk membunuh rombongan
muslimin ini atau menggiring mereka masuk ke dalam sebuah penjara
besar.
Sekarang, kita akan mempersilahkan Ummu Salamah88 ra untuk
menceritakan kisah yang ia dengar dan saksikan.
%%%
Ummu Salamah berkata: “Begitu kami tiba di negeri Habasyah, kami
menemukan perlindungan yang amat baik bagi diri kami sehingga kami
merasa aman dalam menjalankan agama. Kami dapat beribadah kepada
Allah tanpa ada siksaan atau ucapan yang menyakitkan kami. Begitu
Quraisy mendengar kabar ini, mereka segera mengirimkan dua orang yang
paling gagah diantara mereka kepada An Najasy. Keduanya adalah: Amr
bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berdua dibekali hadiah yang
akan diberikan kepada An Najasy dan para pemuka agama di sana. Hadiah
tersebut adalah barang-barang yang disukai oleh penduduk Habasyah dari
negeri Hijaz. Suku Quraisy juga berpesan kepada kedua utusan ini agar
memberikan hadiah kepada para pemuka agama terlebih dahulu sebelum
mereka menghadap An Najasy untuk membicarakan urusan kami.
Begitu
keduanya tiba di Habasyah maka mereka menemui para pemuka
agama dan memberikan kepada masing-masing pemuka agama hadiah.
Tidak ada seorang pun dari para pemuka agama tadi yang tidak
mendapatkan hadiah dari keduanya. Kedua utusan tersebut berkata kepada
pemuka agama:
“Ada beberapa budak bodoh kami yang berlindung di negara raja.
Mereka telah keluar dari agama bapak dan kakek moyang mereka dan
keluar dari kaumnya. Jika kami berbicara kepada raja kalian tentang para
budak ini, maka beritahukanlah raja kalian untuk menyerahkan budakbudak ini kepada kami tanpa perlu menanyakan agama mereka. Karena
para pemimpin suku mereka amat mengerti tentang kondisi para budak ini
dan paham apa yang sedang mereka anut.” Para pemuka agama tadi pun
mengatakan: “Ya.”
Ummu Salamah berkata: “Tidak ada yang lebih kami benci dari Amr
dan sahabatnya daripada saat An Najasy memanggil salah seorang dari
kami untuk mendengarkan pembicaraannya.
%%%
Kemudian keduanya menghadap An Najasy dan memberikan hadiah
kepadanya. An Najasy amat senang dengan hadiah itu. Keduanya lalu
berbincang dengan An Najasy seraya mengatakan:
“Wahai raja, di negeri telah berlindung beberapa budak-budak negeri
kami yang amat nakal. Mereka datang ke sini membawa agama yang tidak
kami ketahui sebagaimana engkau tidak mengetahuinya. Mereka
meninggalkan agama kami namun tidak masuk ke dalam agamamu…
Kami di utus untuk menghadapmu oleh orang tua mereka, paman mereka,
keluarga mereka agar engkau berkenan memulangkan budak-budak ini
kepada mereka, dan mereka adalah manusia yang paling tahu akan fitnah
yang telah dibuat oleh budak-budak ini.”
An Najasy lalu melihat ke arah para pemuka agama, dan para pemuka
agama itu mengatakan: “Keduanya benar, wahai raja! Kaum mereka lebih
tahu dan paham akan apa yang telahg di perbuat oleh para budak ini.
Maka kembalikanlah para budak ini kepada mereka biar mereka sendiri
yang memutuskannya!” Lalu murkalah sang raja dengan ucapan para
pemuka agama ini, ia berkata kepada mereka: “Tidak, demi Allah. Aku
tidak akan menyerahkan mereka kepada siapapun sehingga aku memanggil
mereka semua, dan menanyakan kepada mereka apa yang dituduhkan
kepada mereka. Jika mereka benar, seperti apa yang dikatakan oleh kedua
orang ini, maka aku akan menyerahkannya. Jika mereka tidak demikian,
maka aku akan memberi perlindungan bagi mereka dengan sebaikbaiknya.
agama dan memberikan kepada masing-masing pemuka agama hadiah.
Tidak ada seorang pun dari para pemuka agama tadi yang tidak
mendapatkan hadiah dari keduanya. Kedua utusan tersebut berkata kepada
pemuka agama:
“Ada beberapa budak bodoh kami yang berlindung di negara raja.
Mereka telah keluar dari agama bapak dan kakek moyang mereka dan
keluar dari kaumnya. Jika kami berbicara kepada raja kalian tentang para
budak ini, maka beritahukanlah raja kalian untuk menyerahkan budakbudak ini kepada kami tanpa perlu menanyakan agama mereka. Karena
para pemimpin suku mereka amat mengerti tentang kondisi para budak ini
dan paham apa yang sedang mereka anut.” Para pemuka agama tadi pun
mengatakan: “Ya.”
Ummu Salamah berkata: “Tidak ada yang lebih kami benci dari Amr
dan sahabatnya daripada saat An Najasy memanggil salah seorang dari
kami untuk mendengarkan pembicaraannya.
%%%
Kemudian keduanya menghadap An Najasy dan memberikan hadiah
kepadanya. An Najasy amat senang dengan hadiah itu. Keduanya lalu
berbincang dengan An Najasy seraya mengatakan:
“Wahai raja, di negeri telah berlindung beberapa budak-budak negeri
kami yang amat nakal. Mereka datang ke sini membawa agama yang tidak
kami ketahui sebagaimana engkau tidak mengetahuinya. Mereka
meninggalkan agama kami namun tidak masuk ke dalam agamamu…
Kami di utus untuk menghadapmu oleh orang tua mereka, paman mereka,
keluarga mereka agar engkau berkenan memulangkan budak-budak ini
kepada mereka, dan mereka adalah manusia yang paling tahu akan fitnah
yang telah dibuat oleh budak-budak ini.”
An Najasy lalu melihat ke arah para pemuka agama, dan para pemuka
agama itu mengatakan: “Keduanya benar, wahai raja! Kaum mereka lebih
tahu dan paham akan apa yang telahg di perbuat oleh para budak ini.
Maka kembalikanlah para budak ini kepada mereka biar mereka sendiri
yang memutuskannya!” Lalu murkalah sang raja dengan ucapan para
pemuka agama ini, ia berkata kepada mereka: “Tidak, demi Allah. Aku
tidak akan menyerahkan mereka kepada siapapun sehingga aku memanggil
mereka semua, dan menanyakan kepada mereka apa yang dituduhkan
kepada mereka. Jika mereka benar, seperti apa yang dikatakan oleh kedua
orang ini, maka aku akan menyerahkannya. Jika mereka tidak demikian,
maka aku akan memberi perlindungan bagi mereka dengan sebaikbaiknya.
Ummu
Salamah mengisahkan: “Kemudian An Najasy mengutus
seseorang untuk memanggil kami dan menghadapnya. Lalu kami
berkumpul sebentar sebelum berangkat menghadapnya. Sebagian dari kami
ada yang berkata: “Raja akan menanyakan agama kalian, maka katakanlah
terus terang apa yang kalian anut. Biarkan yang menjadi juru bicaranya
adalah Ja’far bin Abi Thalib, dan jangan ada yang bicara selainnya.”
Ummu Salamah mengisahkan: “Kemudian kami berangkat untuk
menghadap An Najasy dan kami dapati bahwa ia juga telah mengundang
para pemuka agama. Mereka semua duduk di samping kanan dan kiri An
Najasy. Mereka semua mengenakan Tayalisah89 dan menghiasi kepala
mereka dengan peci. Mereka pun tak lupa membuka kitab dihadapan
mereka. Kami juga melihat ada Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah
di dekat raja.”
Begitu kami sudah ada di majlis, An Najasy melihat ke arah kami dan
bertanya: “Apakah agama yang baru kalian anut sehingga kalian
meninggalkan agama kaum kalian juga tidak membuat kalian masuk ke
dalam agamaku, juga tidak masuk suatu agama pun yang diketahui
manusia?”
Lalu majulah beberapa langkah ke arah An Najasy, seseorang yang
bernama Ja’far bin Abi Thalib yang berkata: “Wahai raja, Kami dulunya
adalah kaum jahiliah yang menyembah berhala dan memakan bangkai.
Kami melakukan perbuatan keji dan memutuskan tali silaturahmi. Kami
adalah kaum yang suka mengganggu tetangga. Yang kuat diantara kami
akan memangsa mereka yang lemah. Kami hidup terus-menerus seperti itu
sehingga Allah Swt mengutus seorang Rasul kepada kami yang kami kenal
nasab, kejujuran, amanah dan harga dirinya…
Ia mengajak kami untuk kembali ke jalan Allah; agar kami mau
mengesakan dan menyembah-Nya dan meninggalkan apa yang pernah
kami dan kakek moyang kami sembah selain Allah dari bebatuan dan
berhala…
Rasul ini memerintahkan kami untuk berkata jujur dan menunaikan
amanat. Ia juga menyuruh kami untuk menghubungkan silaturahmu dan
bertetangga dengan baik. Menolak diri dari perbuatan haram dan
pertumpahan darah. Ia juga melarang kami untuk mengerjakan perbuatan
keji dan ucapan dosa. Memakan harta anak yatim dan menuduh wanita
yang terhormat.
Rasul tadi memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allah Swt dan
agar kami tidak melakukan kemusyrikan terhadap-Nya. Kami juga
diperintahkan untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan berpuasa
Ramadhan… kami meyakininya dan kami beriman kepadanya. Kami
mengikuti Rasul tadi dengan apa yang diwahyukan kepadanya dari sisi
Allah. Maka kami menjalankan apa yang halal, dan kami menolak apa yang
haram.
seseorang untuk memanggil kami dan menghadapnya. Lalu kami
berkumpul sebentar sebelum berangkat menghadapnya. Sebagian dari kami
ada yang berkata: “Raja akan menanyakan agama kalian, maka katakanlah
terus terang apa yang kalian anut. Biarkan yang menjadi juru bicaranya
adalah Ja’far bin Abi Thalib, dan jangan ada yang bicara selainnya.”
Ummu Salamah mengisahkan: “Kemudian kami berangkat untuk
menghadap An Najasy dan kami dapati bahwa ia juga telah mengundang
para pemuka agama. Mereka semua duduk di samping kanan dan kiri An
Najasy. Mereka semua mengenakan Tayalisah89 dan menghiasi kepala
mereka dengan peci. Mereka pun tak lupa membuka kitab dihadapan
mereka. Kami juga melihat ada Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah
di dekat raja.”
Begitu kami sudah ada di majlis, An Najasy melihat ke arah kami dan
bertanya: “Apakah agama yang baru kalian anut sehingga kalian
meninggalkan agama kaum kalian juga tidak membuat kalian masuk ke
dalam agamaku, juga tidak masuk suatu agama pun yang diketahui
manusia?”
Lalu majulah beberapa langkah ke arah An Najasy, seseorang yang
bernama Ja’far bin Abi Thalib yang berkata: “Wahai raja, Kami dulunya
adalah kaum jahiliah yang menyembah berhala dan memakan bangkai.
Kami melakukan perbuatan keji dan memutuskan tali silaturahmi. Kami
adalah kaum yang suka mengganggu tetangga. Yang kuat diantara kami
akan memangsa mereka yang lemah. Kami hidup terus-menerus seperti itu
sehingga Allah Swt mengutus seorang Rasul kepada kami yang kami kenal
nasab, kejujuran, amanah dan harga dirinya…
Ia mengajak kami untuk kembali ke jalan Allah; agar kami mau
mengesakan dan menyembah-Nya dan meninggalkan apa yang pernah
kami dan kakek moyang kami sembah selain Allah dari bebatuan dan
berhala…
Rasul ini memerintahkan kami untuk berkata jujur dan menunaikan
amanat. Ia juga menyuruh kami untuk menghubungkan silaturahmu dan
bertetangga dengan baik. Menolak diri dari perbuatan haram dan
pertumpahan darah. Ia juga melarang kami untuk mengerjakan perbuatan
keji dan ucapan dosa. Memakan harta anak yatim dan menuduh wanita
yang terhormat.
Rasul tadi memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allah Swt dan
agar kami tidak melakukan kemusyrikan terhadap-Nya. Kami juga
diperintahkan untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan berpuasa
Ramadhan… kami meyakininya dan kami beriman kepadanya. Kami
mengikuti Rasul tadi dengan apa yang diwahyukan kepadanya dari sisi
Allah. Maka kami menjalankan apa yang halal, dan kami menolak apa yang
haram.
Maka tidak
ada lain yang dilakukan oleh kaum kami sendiri kecuali
melakukan penyiksaan terhadap kami. Mereka menyiksa kami dengan
begitu sadis agar mereka dapat menguji kesetiaan kami kepada agama ini
dan mengembalikan kami kepada penyembahan berhala.
Saat mereka semakin aniaya dan menindas kami. Mereka juga
mempersempit ruang gerak kami. Mereka juga menghalangi kami untuk
melakukan ibadah agama ini. Maka kamipun keluar dari tanah air menuju
negeri mu, dan kami berharap perlindunganmu serta tidak akan dianiaya
di bawah kekuasaanmu.”
%%%
Ummu Salamah berkata: “An Najasy melihat Ja’far bin Abi Thalib dan
bertanya: “Apakah ada yang kalian bawa dari apa yang disampaikan oleh
Nabi kalian dari sisi Allah?” Ja’far menjawab: “Ya.” An Najasy berkata:
“Bacakanlah kepadaku!” Maka Ja’far pun membacakan:
“Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan
tetang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya zakariya. yaitu
tatkala ia berdo'a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia
berkata:"Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan
kepalalu telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam
berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku…” (QS. Mayram [19] :1-4)
melakukan penyiksaan terhadap kami. Mereka menyiksa kami dengan
begitu sadis agar mereka dapat menguji kesetiaan kami kepada agama ini
dan mengembalikan kami kepada penyembahan berhala.
Saat mereka semakin aniaya dan menindas kami. Mereka juga
mempersempit ruang gerak kami. Mereka juga menghalangi kami untuk
melakukan ibadah agama ini. Maka kamipun keluar dari tanah air menuju
negeri mu, dan kami berharap perlindunganmu serta tidak akan dianiaya
di bawah kekuasaanmu.”
%%%
Ummu Salamah berkata: “An Najasy melihat Ja’far bin Abi Thalib dan
bertanya: “Apakah ada yang kalian bawa dari apa yang disampaikan oleh
Nabi kalian dari sisi Allah?” Ja’far menjawab: “Ya.” An Najasy berkata:
“Bacakanlah kepadaku!” Maka Ja’far pun membacakan:
“Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan
tetang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya zakariya. yaitu
tatkala ia berdo'a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia
berkata:"Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan
kepalalu telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam
berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku…” (QS. Mayram [19] :1-4)
sehingga Ja’far membaca hingga bagian tertentu dari surat tersebut.
Ummu Salamah berkisah: “Maka menangislah An Najasy sehingga
janggutnya basah oleh air mata. Dan para pemuka agama juga menangis
sehingga kitab-kitab mereka pun basah dibuatnya. Mereka semua
menangis begitu mendengarkan Kalamullah ini.
Pada saat itulah An Najasy berkata kepada kami: “Apa yang dibawa oleh
Nabi kalian dan apa yang telah dibawa oleh Isa adalah berasal dari sumber
cahaya yang sama!” Kemudian An Najasy menoleh ke arah Amr dan
sahabatnya lalu berkata kepada mereka berdua: “Pergilah kalian berdua!
Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua
untuk selamanya!
Ummu
Salamah berkata: “Begitu kami keluar dari ruangan An Najasy,
Amr bin Ash berkata kepada sahabatnya dengan mengancam kami:
“DemiAllah, aku akan datang kepada Raja esok hari. Aku akan
menceritakan kepadanya tentang mereka yang dapat menimbulkan
kebencian raja kepada mereka. Aku akan membuat raja membabat mereka
dari akarnya!”
Maka berkatalah Abdullah bin Abi Rabi’ah kepadanya: “Jangan kau
lakukan itu, wahai Amr! Mereka semua berasal dari keluarga kita,
meskipun mereka saat ini telah meninggalkan kita!”
Amr menjawab: “Tidak usah ikut campur! Demi Allah, aku akan
menceritakan kepada raja apa yang dapat membuat mereka semua resah.
Demi Allah, aku akan menceritakannya kepada raja bahwa mereka
menganggap bahwa Isa bin Maryam adalah seorang hamba!!!”
%%%
Keesokan harinya, datanglah Amr menghadap Raja An Najasy dan
berkata kepadanya: “Wahai raja, orang-orang yang engkau beri
perlindungan itu mengatakan suatu perkataan keji tentang Isa bin Maryam.
Kalau tidak percaya, panggilah mereka dan tanyakan sendiri apa yang
mereka katakan terhadap Isa bin Maryam!”
Ummu Salamah berkata: “Begitu kami mengetahui hal ini, kami merasa
amat khawatir dan kami belum pernah merasakan hal seperti ini
sebelumnya… Sebagian kami berkata: “Apa yang kalian katakan tentang
Isa bin Maryam jika raja menanyakannya?” Kami pun menjawab: “Demi
Allah, kami tidak akan menjawab kecuali seperti apa yang telah Allah
firmankan. Kami tidak akan keluar dari perintah-Nya meski hanya seujung
jari sebagaimana yang telah disampaikan oleh Nabi kita. Meski apapun
yang menjadi konsekuensinya!”
Kemudian kami sepakat bahwa yang akan menjadi juru bicaranya
adalah Ja’far bin Abi Thalib.
Begitu An Najasy memanggil, maka kami pun datang menghadapnya,
lalu kami melihat adanya beberapa orang pemuka agama dengan pakaian
seperti yang telah kami lihat sebelumnya.
Kami juga melihat Amr bin Ash dan sahabatnya berada di dekat raja.
Begitu kami tiba di hadapannya, An Najasy bertanya: “Apa yang kalian
katakan tentang Isa bin Maryam?” Ja’far bin Abi Thalib mengatakan: “Kami
mengatakan tentang Isa bin Maryam sebagaimana yang disampaikan
kepada Nabi kami!”
An Najasy bertanya: “Apa pendapat Nabi kalian tentang Isa bin
Maryam?”
Ja’far pun menjawab: “Nabi berkata tentang Isa bahwa dia adalah
hamba Allah sekaligus Rasul-Nya. Ia juga ruh dan kalimat Allah yang
diberikan pada diri Maryam yang suci dan perawan.
Amr bin Ash berkata kepada sahabatnya dengan mengancam kami:
“DemiAllah, aku akan datang kepada Raja esok hari. Aku akan
menceritakan kepadanya tentang mereka yang dapat menimbulkan
kebencian raja kepada mereka. Aku akan membuat raja membabat mereka
dari akarnya!”
Maka berkatalah Abdullah bin Abi Rabi’ah kepadanya: “Jangan kau
lakukan itu, wahai Amr! Mereka semua berasal dari keluarga kita,
meskipun mereka saat ini telah meninggalkan kita!”
Amr menjawab: “Tidak usah ikut campur! Demi Allah, aku akan
menceritakan kepada raja apa yang dapat membuat mereka semua resah.
Demi Allah, aku akan menceritakannya kepada raja bahwa mereka
menganggap bahwa Isa bin Maryam adalah seorang hamba!!!”
%%%
Keesokan harinya, datanglah Amr menghadap Raja An Najasy dan
berkata kepadanya: “Wahai raja, orang-orang yang engkau beri
perlindungan itu mengatakan suatu perkataan keji tentang Isa bin Maryam.
Kalau tidak percaya, panggilah mereka dan tanyakan sendiri apa yang
mereka katakan terhadap Isa bin Maryam!”
Ummu Salamah berkata: “Begitu kami mengetahui hal ini, kami merasa
amat khawatir dan kami belum pernah merasakan hal seperti ini
sebelumnya… Sebagian kami berkata: “Apa yang kalian katakan tentang
Isa bin Maryam jika raja menanyakannya?” Kami pun menjawab: “Demi
Allah, kami tidak akan menjawab kecuali seperti apa yang telah Allah
firmankan. Kami tidak akan keluar dari perintah-Nya meski hanya seujung
jari sebagaimana yang telah disampaikan oleh Nabi kita. Meski apapun
yang menjadi konsekuensinya!”
Kemudian kami sepakat bahwa yang akan menjadi juru bicaranya
adalah Ja’far bin Abi Thalib.
Begitu An Najasy memanggil, maka kami pun datang menghadapnya,
lalu kami melihat adanya beberapa orang pemuka agama dengan pakaian
seperti yang telah kami lihat sebelumnya.
Kami juga melihat Amr bin Ash dan sahabatnya berada di dekat raja.
Begitu kami tiba di hadapannya, An Najasy bertanya: “Apa yang kalian
katakan tentang Isa bin Maryam?” Ja’far bin Abi Thalib mengatakan: “Kami
mengatakan tentang Isa bin Maryam sebagaimana yang disampaikan
kepada Nabi kami!”
An Najasy bertanya: “Apa pendapat Nabi kalian tentang Isa bin
Maryam?”
Ja’far pun menjawab: “Nabi berkata tentang Isa bahwa dia adalah
hamba Allah sekaligus Rasul-Nya. Ia juga ruh dan kalimat Allah yang
diberikan pada diri Maryam yang suci dan perawan.
Begitu An
Najasy mendengar ucapan Ja’far ia langsung memukul tanah
dengan tangannya dan berkata: “Demi Allah, Isa bin Maryam tidak keluar
dari apa yang diceritakan oleh Nabi kalian meski seujung rambut!”
Maka para pemuka agama menghembuskan nafas keras dari hidung
mereka pertanda tidak setuju begitu mereka mendengar ucapan An Najasy.
An Najasy berkata: “Meski kalian menghembuskan nafas dengan
kesal!” Kemudian An Najasy menoleh dan berkata: “Keluarlah, kalian
semua aman! Siapa yang mencaci kalian akan terkena denda. Siapa yang
menyerang kalian akan dihukum! Demi Allah aku tidak lebih menyukai
apabila aku mendapatkan segunung emas daripada salah seorang dari
kalian diganggu!
Kemudian An Najasy melihat ke arah Amr dan sahabatnya sambil
berkata: “Kembalikan hadiah kedua orang ini, aku tidak
membutuhkannya!”
Ummu Salamah berkata: “Maka keluarlah Amr dan sahabatnya dengan
putus asa dan merasa kesal… sedangkan kami terus tinggal di wilayah An
Najasy di wilayah yang paling baik dan perlindungan yang paling mulia.”
%%%
Ja’far bersama istrinya menghabiskan 10 tahun dalam perlindungan
keamanan An Najasy.
Pada tahun 7 H, mereka berdua meninggalkan negeri Habasyah
bersama rombongan kaum muslimin lainnya untuk berhijrah ke Yatsrib.
Saat mereka tiba di sana, Rasulullah Saw baru saja kembali dari Khaibar90,
setelah Allah menaklukan daerah tersebut untuk Beliau.
Begitu berjumpa Ja’far, Rasulullah Saw amat bergembira dan bersabda:
“Aku tidak mengerti, mengapa aku begitu gembira. Apakah karena Khaibar
telah ditaklukan atau karena datangnya Ja’far?”
Kaum muslimin semuanya, apalagi mereka yang faqir tidak mau kalah
gembiranya dari Rasulullah Saw dengan kedatangan Ja’far. Ja’far begitu
peduli dan sayang terhadap kaum fakir. Sehingga ia dijuluki dengan Abul
Masakin (Ayahnya orang-orang miskin).
Abu Hurairah menceritakan tentang pribadi Ja’far dengan ucapannya:
“Ja’far adalah orang yang paling baik kepada kami –orang miskin-. Ia
sering mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan dengan apa
yang ada di rumahnya. Sehingga bila semua makanan di rumahnya telah
habis, maka ia akan memberikan kami bejana tempat minyak yang sama
sekali sudah kosong. Bejana tersebut lalu kami belah dan kami jilati apa
yang menempel dan tersisa di dalamnya.
dengan tangannya dan berkata: “Demi Allah, Isa bin Maryam tidak keluar
dari apa yang diceritakan oleh Nabi kalian meski seujung rambut!”
Maka para pemuka agama menghembuskan nafas keras dari hidung
mereka pertanda tidak setuju begitu mereka mendengar ucapan An Najasy.
An Najasy berkata: “Meski kalian menghembuskan nafas dengan
kesal!” Kemudian An Najasy menoleh dan berkata: “Keluarlah, kalian
semua aman! Siapa yang mencaci kalian akan terkena denda. Siapa yang
menyerang kalian akan dihukum! Demi Allah aku tidak lebih menyukai
apabila aku mendapatkan segunung emas daripada salah seorang dari
kalian diganggu!
Kemudian An Najasy melihat ke arah Amr dan sahabatnya sambil
berkata: “Kembalikan hadiah kedua orang ini, aku tidak
membutuhkannya!”
Ummu Salamah berkata: “Maka keluarlah Amr dan sahabatnya dengan
putus asa dan merasa kesal… sedangkan kami terus tinggal di wilayah An
Najasy di wilayah yang paling baik dan perlindungan yang paling mulia.”
%%%
Ja’far bersama istrinya menghabiskan 10 tahun dalam perlindungan
keamanan An Najasy.
Pada tahun 7 H, mereka berdua meninggalkan negeri Habasyah
bersama rombongan kaum muslimin lainnya untuk berhijrah ke Yatsrib.
Saat mereka tiba di sana, Rasulullah Saw baru saja kembali dari Khaibar90,
setelah Allah menaklukan daerah tersebut untuk Beliau.
Begitu berjumpa Ja’far, Rasulullah Saw amat bergembira dan bersabda:
“Aku tidak mengerti, mengapa aku begitu gembira. Apakah karena Khaibar
telah ditaklukan atau karena datangnya Ja’far?”
Kaum muslimin semuanya, apalagi mereka yang faqir tidak mau kalah
gembiranya dari Rasulullah Saw dengan kedatangan Ja’far. Ja’far begitu
peduli dan sayang terhadap kaum fakir. Sehingga ia dijuluki dengan Abul
Masakin (Ayahnya orang-orang miskin).
Abu Hurairah menceritakan tentang pribadi Ja’far dengan ucapannya:
“Ja’far adalah orang yang paling baik kepada kami –orang miskin-. Ia
sering mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan dengan apa
yang ada di rumahnya. Sehingga bila semua makanan di rumahnya telah
habis, maka ia akan memberikan kami bejana tempat minyak yang sama
sekali sudah kosong. Bejana tersebut lalu kami belah dan kami jilati apa
yang menempel dan tersisa di dalamnya.
Ja’far
tidak tinggal lama di Madinah. Pada tahun 8 hirjriyah, Rasul Saw
mempersiapkan pasukan untuk menghadapi pasukan Romawi yang berada
di negeri Syam. Rasul menunjuk Zaid bin Haritsah untuk memimpin
pasukan ini. Rasul berpesan: “Jika Zaid terbunuh atau tewas maka yang
menjadi amir dalam pasukan ini adalah Ja’far bin Abi Thalib. Jika Ja’far
terbunuh atau tewas maka yang akan menjadi amirnya adalah Abdullah
bin Rawahah. Jika Abdullah bin Rawahah terbunuh atau tewas maka
pasukan muslimin dipersilahkan menunjuk amir bagi mereka!”
Saat pasukan muslimin tiba di Mu’tah, yaitu sebuah desa yang terletak
di pinggir negeri Syam di daerah Yordania, mereka mendapati bahwa
pasukan Romawi telah menyiapkan 100 ribu prajurit yang didukung oleh
100 ribu lainnya dari penganut Nashrani bangsa Arab dari kabilah Lakhm,
Judzam, Qudha’ah dan lain-lain.
Pasukan muslimin saat itu hanya berjumlah 3000 prajurit.
Begitu kedua pasukan sudah bertemu dan peperangan berlangsung
dengan sengit sehingga Zaid bin Haritsah tersungkur jatuh dan tewas
hingga tak tertolong.
Serta-merta Ja’far melompat dari punggung kudanya yang berwarna
pirang. Kemudian Ja’far menebas kaki-kaki kuda tadi dengan pedangnya
sendiri agar pihak musuh tidak menggunakannya lagi.
Ia lalu mengambil panji dan merangsek masuk ke barisan musuh
sambil bersenandung:
Alangkah dekatnya surga
Ia amat indah dan sejuk airnya
Romawi, bangsa Romawi sudah tiba adzab baginya
Sebab ia adalah bangsa yang kafir dan jauh dari agama leluhurnya
Jika aku berjumpa dengan mereka, maka aku pasti akan menebasnya
Dia terus merangsek masuk ke barisan musuh dengan pedang terhunus
sehingga ia mendapat sebuah sabetan pedang yang memutuskan tangan
kanannya. Lalu ia mempertahankan panji dengan tangan kirinya. Tidak
berlangsung lama, tangan kirinya pun putus disabet musuh. Lalu ia
mempertahankan panji tersebut dengan dada dan kedua lengan atasnya.
Tidak berlangsung lama, maka akhirnya ia terkena sabetan yang ketiga
sehingga tubuhnya terbelah dua. Maka panji kemudian direbut oleh
Abdullah bin rawahah. Ia pun terus berjuang sehingga ia menyusul kedua
sahabatnya.
mempersiapkan pasukan untuk menghadapi pasukan Romawi yang berada
di negeri Syam. Rasul menunjuk Zaid bin Haritsah untuk memimpin
pasukan ini. Rasul berpesan: “Jika Zaid terbunuh atau tewas maka yang
menjadi amir dalam pasukan ini adalah Ja’far bin Abi Thalib. Jika Ja’far
terbunuh atau tewas maka yang akan menjadi amirnya adalah Abdullah
bin Rawahah. Jika Abdullah bin Rawahah terbunuh atau tewas maka
pasukan muslimin dipersilahkan menunjuk amir bagi mereka!”
Saat pasukan muslimin tiba di Mu’tah, yaitu sebuah desa yang terletak
di pinggir negeri Syam di daerah Yordania, mereka mendapati bahwa
pasukan Romawi telah menyiapkan 100 ribu prajurit yang didukung oleh
100 ribu lainnya dari penganut Nashrani bangsa Arab dari kabilah Lakhm,
Judzam, Qudha’ah dan lain-lain.
Pasukan muslimin saat itu hanya berjumlah 3000 prajurit.
Begitu kedua pasukan sudah bertemu dan peperangan berlangsung
dengan sengit sehingga Zaid bin Haritsah tersungkur jatuh dan tewas
hingga tak tertolong.
Serta-merta Ja’far melompat dari punggung kudanya yang berwarna
pirang. Kemudian Ja’far menebas kaki-kaki kuda tadi dengan pedangnya
sendiri agar pihak musuh tidak menggunakannya lagi.
Ia lalu mengambil panji dan merangsek masuk ke barisan musuh
sambil bersenandung:
Alangkah dekatnya surga
Ia amat indah dan sejuk airnya
Romawi, bangsa Romawi sudah tiba adzab baginya
Sebab ia adalah bangsa yang kafir dan jauh dari agama leluhurnya
Jika aku berjumpa dengan mereka, maka aku pasti akan menebasnya
Dia terus merangsek masuk ke barisan musuh dengan pedang terhunus
sehingga ia mendapat sebuah sabetan pedang yang memutuskan tangan
kanannya. Lalu ia mempertahankan panji dengan tangan kirinya. Tidak
berlangsung lama, tangan kirinya pun putus disabet musuh. Lalu ia
mempertahankan panji tersebut dengan dada dan kedua lengan atasnya.
Tidak berlangsung lama, maka akhirnya ia terkena sabetan yang ketiga
sehingga tubuhnya terbelah dua. Maka panji kemudian direbut oleh
Abdullah bin rawahah. Ia pun terus berjuang sehingga ia menyusul kedua
sahabatnya.
Rasulullah
mendengar berita gugurnya ketiga panglima perang Beliau.
Maka Rasul langsung amat bersedih begitu mendengarnya, lalu ia
berangkat menuju rumah sepepupunya Ja’far bin Abi Thalib. Beliau
mendapati istrinya Asma binti Umais yang bersiap-siap menyambut
suaminya yang sudah tiada.
Asma telah menumbukkan gandum, memandikan anak, memakaikan
wewangian kepada mereka kemudian memakaikan mereka baju.
%%%
Asma berkata: “Saat Rasul Saw datang ke rumah kami, aku melihat ada
raut kesedihan yang menyelimuti wajahnya yang mulia. Maka aku mulai
merasa khawatir, namun aku tidak mau bertanya kepada Beliau tentang
ja’far karena aku takut mendengar berita yang menyedihkan.”
Rasul lalu memberikan salam dan berkata: “Bawa kesini, anak-anak
Ja’far!” Maka akupun memanggilkan mereka.
Maka anak-anakku berlarian ke arah Rasul dengan gembira. Mereka
berebutan untuk dapat berada di pangkuan Rasulullah Saw.
Rasul Saw merangkul mereka dan menciuminya. Mata Beliau penuh
dengan air mata.
Aku bertanya: “Ya Rasulullah, demi ibu dan bapakku, apa yang
membuatmu menangis?! Apakah engkau telah menerima kabar tentang
Ja’far dan kedua sahabatnya?” Beliau menjawab: “Ya, mereka semua sudah
menjadi syahid pada hari ini.”
Pada saat itu, sirnalah senyum dari wajah anak-anak Ja’far yang masih
kecil saat mereka mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka
diam tak bergeming seolah di kepala mereka sedang bersarang seekor
burung.
Sedangkan Rasulullah Saw pergi ke luar sambil mengusap air matanya
sambil berdo’a: “Ya Allah, gantikan Ja’far bagi anak-anaknya. Ya Allah,
gantikan Ja’far bagi keluarganya.”
Kemudian Rasul bersabda: “Aku melihat Ja’far di surga. Ia memiliki 2
sayap yang berlumuran darah dan bulu-bulunya diberi warna.
Maka Rasul langsung amat bersedih begitu mendengarnya, lalu ia
berangkat menuju rumah sepepupunya Ja’far bin Abi Thalib. Beliau
mendapati istrinya Asma binti Umais yang bersiap-siap menyambut
suaminya yang sudah tiada.
Asma telah menumbukkan gandum, memandikan anak, memakaikan
wewangian kepada mereka kemudian memakaikan mereka baju.
%%%
Asma berkata: “Saat Rasul Saw datang ke rumah kami, aku melihat ada
raut kesedihan yang menyelimuti wajahnya yang mulia. Maka aku mulai
merasa khawatir, namun aku tidak mau bertanya kepada Beliau tentang
ja’far karena aku takut mendengar berita yang menyedihkan.”
Rasul lalu memberikan salam dan berkata: “Bawa kesini, anak-anak
Ja’far!” Maka akupun memanggilkan mereka.
Maka anak-anakku berlarian ke arah Rasul dengan gembira. Mereka
berebutan untuk dapat berada di pangkuan Rasulullah Saw.
Rasul Saw merangkul mereka dan menciuminya. Mata Beliau penuh
dengan air mata.
Aku bertanya: “Ya Rasulullah, demi ibu dan bapakku, apa yang
membuatmu menangis?! Apakah engkau telah menerima kabar tentang
Ja’far dan kedua sahabatnya?” Beliau menjawab: “Ya, mereka semua sudah
menjadi syahid pada hari ini.”
Pada saat itu, sirnalah senyum dari wajah anak-anak Ja’far yang masih
kecil saat mereka mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka
diam tak bergeming seolah di kepala mereka sedang bersarang seekor
burung.
Sedangkan Rasulullah Saw pergi ke luar sambil mengusap air matanya
sambil berdo’a: “Ya Allah, gantikan Ja’far bagi anak-anaknya. Ya Allah,
gantikan Ja’far bagi keluarganya.”
Kemudian Rasul bersabda: “Aku melihat Ja’far di surga. Ia memiliki 2
sayap yang berlumuran darah dan bulu-bulunya diberi warna.
Kisah dan Teladan Sahabat Rasul Ja’far bin Abi Thalib
Reviewed by kopi pancong
on
November 11, 2017
Rating:
No comments: